Petunjuk Menonton Video

Bila video tersendat, tunggu hingga komputer selesai (100%) menstreaming (1 - 5 menit) kemudian tekan replay.

Kamis, 09 Oktober 2008

32.Gene Netto: Mencari Tuhan Menemukan Allah



Assalamu’alaikum wr.wb.,
Ini Bab Pertama dari buku saya Mencari Tuhan, Menemukan Allah. Saya sudah selesai menulisnya tapi masih editing, dan Insya Allah akan siap terbit dalam bulan-bulan mendatang. Sekarang, kedua bab pertama ini ada di Blog dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Karena buku ini menjadi cukup panjang, sudah dipecahkan menjadi dua buku. Buku yang pertama ini mengenai agama Kristen dan Islam, dan yang kedua (yang Insya Allah akan datang) lebih terfokus pada kehidupan ummat Islam di Indonesia.
Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.,
Gene

MENCARI TUHAN, MENEMUKAN ALLAH
Perjalanan Spiritual Seorang Mualaf yang Membandingkan Agama Kristen dan Islam Dalam Mencari Kebenaran

Oleh Gene Netto

DAFTAR ISI
1. Tentang Saya
2. Ingin Melihat Tuhan
3. Rangkaian Nabi-Nabi
4. Tanda Dari Tuhan
5. Para Pengikut Yesus
6. Pengikut Yesus Dan Pengikut Muhammad
7. Kebenaran Islam
8. Ini Yang Allah Katakan Mengenai Al Qur'an
9. Sebuah Agama Yang Logis
10. Kebutuhan Spiritual Kita Dan Solusi Allah
11. Anda Yang Menentukan Langkah Selanjutnya


1. TENTANG SAYA
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarahkatu.
Hampir setiap kali berkenalan dengan orang baru dan berbincang mengenai Islam, perbincangan itu menjadi terhenti hanya untuk menjawab sejumlah pertanyaan seputar latar belakang saya. Setiap orang ingin mengetahui hal yang sama: bagaimana saya bisa masuk Islam? Saya telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1995 dan karenanya sebagian besar perbincangan dilakukan dalam bahasa Indonesia, dan kadang dalam Bahasa Inggris. Lalu, saya juga harus menjawab sederet pertanyaan lain tentang bagaimana saya belajar bahasa Indonesia dan bisa tinggal di Indonesia. Melalui bab ini, saya ingin menjawab sejumlah pertanyaan itu sehingga saya dapat beranjak lebih jauh menuju pembahasan mengenai agama Kristen dan Islam. Saya ingin menjelaskan mengapa saya menganggap agama Kristen tidak dapat diterima dari sudut pandang logika dan mengapa Islam merupakan sebuah agama logis yang tidak dapat disangkal kebenarannya.
Saya lahir di kota Nelson, sebuah kota kecil di Pulau Selatan Selandia Baru (New Zealand), pada tanggal 28 April, 1970. Bapak saya bernama Carl dan ibu saya Bev. Mereka bertemu di Nelson, yang jaraknya cukup dekat dengan tempat lahir ibu saya, tapi cukup jauh dari tempat lahir bapak saya di Birma (sekarang Myanmar ). Kakek saya meninggalkan Birma beberapa tahun setelah Perang Dunia II berakhir. Setelah tinggal di Australia untuk beberapa bulan, akhirnya kakek menetap di Selandia Baru. Orang tua saya mempunyai tiga orang anak: Bene, Gene, dan Jacinta. Kakak dan adik saya bermata biru, tapi mata saya campuran antara coklat dan hijau. Jadi nampaknya saya sudah “berbeda” sejak saat dilahirkan.
Pada waktu kecil, saya merasa kurang betah tinggal di Selandia Baru. Keluarga saya beragama Katolik, Ibu saya berkulit putih dan seharusnya itu membuat semuanya baik-baik saja, tetapi saya selalu teringat pada orang-orang yang seringkali bertanya tentang asal saya atau asal orang tua saya. Saudara-saudara saya dapat bergaul dengan mudah karena mereka bermata biru. Dengan mata dan rambut yang lebih gelap, saya terlihat berbeda dengan mereka. Saya selalu merasa bahwa saya bukan benar-benar orang kulit putih, tetapi juga bukan orang Asia. Jadi saya ini orang mana? Hal ini terus mengganggu pikiran saya dari waktu ke waktu. Saat itu, saya sudah mulai berpikir banyak tentang dunia, bangsa, budaya dan agama yang berbeda-beda. Ini semua mungkin lebih karena saya merasa tidak menjadi bagiannya.
Seiring dengan bertambahnya usia, saya mulai banyak berfikir tentang topik-topik yang lebih serius: piramida, dinosaurus, peradaban yang berbeda, dunia, agama, bintang-bintang di angkasa, dan juga alam semesta. Saya teringat saat memandang bintang-bintang dalam kesunyian malam dan memikirkan darimana mereka berasal. Saat itu saya berumur sekitar 9 atau 10 tahun dan sudah mulai ingin mengetahui segala sesuatu. Pada saat itu film “Jurassic Park” belum dibuat, dan seingat saya, diantara teman-teman sekelas hanya saya lah yang tertarik pada dinosaurus. Saya tidak mengerti mengapa teman-teman saya yang lain tidak tertarik dengan binatang raksasa itu, padahal dinosaurus itu asyik! Saya ingin tahu darimana mereka berasal dan mengapa mereka menghilang. Pada dasarnya, saya adalah seorang anak kecil yang selalu penasaran terhadap segala sesuatu.
Seperti anak kecil lainnya, saya juga diajarkan agama. Saya ingat waktu pergi ke Sekolah Minggu yang hanya sebentar saja. Saya harus menghafal seluruh cerita standar Al Kitab, tentang Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Nuh as, dan Nabi Isa as (atau Yesus). Saya selalu bingung bagaimana mungkin Nabi Nuh as bisa memasukkan begitu banyak binatang ke dalam sebuah kapal. Bagaimana dia bisa mendapatkan jerapah dari Afrika? Lalu di mana ular yang berbisa ditempatkan? Ada banyak hal yang membuat saya bingung. Namun begitu, kisah Nabi Nuh as merupakan masalah yang sangat kecil dibandingkan dengan hal lainnya yang ingin saya ketahui.
Setiap kali bertanya tentang agama, saya merasa tidak begitu puas dengan jawaban yang didapatkan. Tetapi saya tidak selalu memaksa untuk mendapatkan jawaban yang lebih lengkap. Saya sudah cukup dewasa untuk mengerti ketika seorang dewasa mengalami kesulitan menjawab pertanyaan yang membuat dia menjadi malu. Jadi, saya sering merasa bingung tetapi juga tidak terlalu ingin membicarakannya. Saya ingin paham, tetapi hal itu tidaklah begitu mudah.
Saya belajar tentang konsep Trinitas, dimana Tuhan itu adalah Yesus dan juga Roh Kudus. Tiga-tiganya terpisah, tetapi tiga-tiganya adalah satu. Tiga tapi satu. Ketiganya adalah Tuhan, tapi hanya ada satu Tuhan. Tuhan menjadi seorang manusia yang bernama Yesus, dan manusia ini adalah anak Tuhan. Manusia itu wafat, tetapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia itu adalah Tuhan. Dia wafat. Tapi Tuhan tidak bisa wafat. Tetapi manusia itu adalah Tuhan. Berarti manusia itu wafat walaupun dia tidak bisa wafat. Dia hidup kekal, dan sekaligus tidak hidup kekal pada saat yang sama. Tidakkah ini membingungkan?
Saya juga bingung dengan peran pastor yang dengan mudahnya mengampuni dosa setiap orang tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Tuhan. Bagaimana kalau pastor itu salah dan dosa saya belum diampuni? Apakah saya bisa mendapatkan bukti tertulis dari Tuhan yang menyatakan bahwa saya sudah terbebas dari dosa? Bagaimana kalau saya bertemu dengan Tuhan di Hari Akhir dan Dia menyatakan bahwa dosa saya belum diampuni? Kalau saya protes dan menunjuk pada pastor yang meyakinkan bahwa saya tidak punya dosa lagi, Tuhan cukup bertanya “Siapa yang menyuruh kamu percaya pada perkataan dia?” Siapa yang sanggup menyelamatkan saya kalau pastor itu keliru dan dosa saya tetap ada dan malah dihitung secara terperinci oleh Tuhan? Tidak seperti Nabi-Nabi Tuhan, para pastor tidak diangkat langsung oleh Tuhan. Mereka hanyalah sekelompok manusia yang bisa berbuat salah, yang bercerita tentang banyak hal dan kemudian seringkali melarang kita untuk mempertanyakan peran mereka atau peran Gereja.
Saya mulai berfikir bagaimana caranya mendapatkan sebuah jawaban yang gamblang atas semua pertanyaan mengenai agama yang mengganggu pikiran saya. Akhirnya, saya menemukan cara untuk mendapatkan sebagian jawaban atas pertanyaan itu: saya harus bicara empat mata dengan Tuhan! Hanya Tuhan yang bisa menjawab semua pertanyaan saya.
Pada suatu hari, saya menunggu sampai larut malam disaat semua orang sudah terlelap. Saya duduk di atas tempat tidur dan mulai berdoa kepada Tuhan. Saya meminta Tuhan untuk datang dan menampakkan Diri agar saya bisa melihat-Nya dengan mata kepala sendiri. Saya menyatakan bahwa saya siap percaya dan beriman kepada Tuhan kalau saya bisa melihat-Nya sekali saja dan mendapatkan jawaban yang benar dari semua pertanyaan saya. Kata orang, Tuhan bisa melakukan apa saja! Kalau benar, berarti Tuhan juga bisa muncul di kamar saya pada saat diminta. Saya terus berdoa dengan sungguh-sungguh dan menatap jendela kamar, menanti untuk melihat “cahaya” atau tanda “Ketuhanan” lainnya.
Saya menunggu lama sekali. 10 menit, 20 menit, di manakah Tuhan? Kata orang, Tuhan itu Maha Mendengar, berarti Dia pasti dapat mendengarkan doa-doa saya. Saya menunggu lagi, menatap jendela tiada henti. Menunggu dan terus menunggu lagi. Kenapa Tuhan belum juga datang? Barangkali Dia sibuk? Terjebak macet? Saya terus menatap jendela tanpa henti. Saya menunggu sekian lama dan benar-benar memberi kesempatan kepada Tuhan untuk muncul. Tetapi kelihatannya Tuhan terlalu sibuk pada malam itu karena Dia tidak pernah hadir.
Hal itu membuat saya bingung. Saya sudah berjanji akan percaya kepada-Nya, dan yang perlu Dia lakukan hanya datang ke ruangan saya dan membuktikan kepada saya bahwa Dia benar-benar ada. Bukankah itu cukup adil? Hari berikutnya, saya berdoa lagi memohon agar Dia hadir. Mungkin kemarin Dia benar-benar sibuk. Saya tidak boleh menyerah begitu saja. Namun, hasilnya pun tetap sama: Tuhan tidak datang.
Pada saat itu, terperangkap dalam kebingungan, saya memutuskan hanya ada satu cara tersisa: Saya harus menyatakan diri “ateis” dan tidak percaya pada Tuhan manapun. Keputusan ini pasti akan membuat Tuhan menjadi kesal saat mengetahuinya. Saya memberitahu Tuhan (dalam hati) bahwa Tuhan itu tidak ada dan semua orang yang percaya kepada-Nya adalah orang bodoh yang hanya membuang waktunya dengan sia-sia. Di dalam hati, saya berbicara kepada Tuhan dengan suara yang keras supaya Dia bisa mendengar dengan jelas pernyataan saya. Saya ingin memastikan Tuhan tahu bahwa saya tidak lagi percaya kepada-Nya.
Pada hari-hari berikutnya, saya menunggu sebuah balasan. Saya memberi waktu kepada Tuhan untuk datang dan meminta maaf karena tidak sempat datang dan menampakkan diri di hari sebelumnya. Saya sudah membuat sebuah pernyataan yang jelas. Tuhan semestinya mendengar pernyataan saya itu dan memberi tanggapan. Saya tidak akan melakukan hal lain sampai Tuhan meminta maaf atau memberikan penjelasan. Hari demi hari, minggu demi minggu bahkan bulan demi bulan berlalu tanpa ada tanggapan dari Tuhan, dan akhirnya saya mencapai kesimpulan bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Saya sudah membuktikannya “secara ilmiah”. Kalau Tuhan itu benar ada, Dia pasti akan mendengar doa saya dan menampakkan diri di kamar saya saat diminta. Kenyataan bahwa Tuhan tidak menampakkan diri telah membuktikan bahwa Tuhan memang tidak ada! Bukti ini benar adanya. Bukti ini logis. Bukti ini ilmiah. Saya telah membuktikannya. Saat itu, saya berumur 10 tahun.
Saya terus melanjutkan sekolah dan menyembunyikan kenyataan bahwa saya tidak percaya kepada Tuhan. Kalau ada yang menanyakan agama saya maka saya cukup menjawab “Katolik” supaya tidak perlu menjelaskan bahwa saya ateis. Selama masa SD, SMP, dan SMA saya belajar terus tentang masalah dunia tetapi sudah malas mempelajari agama secara serius (kecuali untuk mencari kekurangannya) karena saya menganggap agama itu hanya membuang waktu saja tanpa membawa hasil. Setelah lulus SMA, orang tua saya memutuskan untuk pindah ke Brisbane, Australia. Saya ditanya apakah mau ikut mereka atau tetap tinggal di Selandia Baru. Saya memutuskan mengikuti mereka untuk sementara waktu dan merasakan kehidupan di Australia.
Pada tahun 1990, di Brisbane Australia, saya tiba-tiba memutuskan untuk masuk jurusan Psikologi di Universitas Queensland. Saya ingin menjadi seorang psikolog anak. Namun saya tidak diterima karena nilai masuk saya kurang tinggi. Sulit sekali untuk masuk di jurusan itu. Sebagai pilihan kedua, saya ditawari untuk masuk di Fakultas Kajian Asia di Universitas Griffith, Brisbane. Saya diberitahu jika menerima tawaran itu, saya dapat mengambil Kajian Asia selama 1 tahun, meningkatkan nilai saya, dan mendaftar lagi ke jurusan Psikologi. Rencana ini tampak masuk akal dan karenanya saya menerima tawaran untuk belajar di Fakultas Kajian Internasional Asia (Faculty of Asian International Studies) di Universitas Griffith, dengan niat akan pindah ke Fakultas Psikologi setahun kemudian.
Pada tahun pertama kuliah di Fakultas Kajian Asia, semua mahasiswa wajib mengikuti mata kuliah salah satu bahasa Asia untuk satu tahun. Ada pilihan Bahasa Jepang, Cina, Korea, atau Indonesia. Saya memilih Bahasa Indonesia karena sepertinya paling mudah dari yang lain. Lagipula, saya hanya perlu mengikuti mata kuliah itu selama satu tahun saja. Dalam waktu enam bulan, saya mendapatkan nilai yang sangat baik dan termasuk yang paling tinggi. Saat itu, kami diberitahu bahwa ada 3 beasiswa untuk belajar di Indonesia selama 6 bulan. Saya tidak mengikuti seleksi karena masih berniat pindah ke fakultas Psikologi di akhir tahun. Tiga teman saya kemudian dipilih, tetapi salah satunya tiba-tiba menyatakan ada halangan dan mengundurkan diri. Proses seleksi dibuka lagi, tetapi sekarang hanya untuk satu orang. Ada seorang dosen yang memanggil saya ke kantornya dan bertanya kenapa saya tidak mengikuti seleksi beasiswa itu. Saya jelaskan niat saya untuk pindah fakultas di akhir tahun pertama. Namun begitu, dosen itu menyarankan agar saya tetap melanjutkan kuliah Kajian Asia dan mata kuliah bahasa Indonesia karena menurutnya saya memiliki bakat untuk bahasa.
Setelah berfikir secara mendalam dan sesuai dengan apa yang disarankan, akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan kuliah di Fakultas Kajian Asia dan juga mengikuti proses seleksi untuk beasiswa belajar di Indonesia. Setelah proses selesai, saya dinyatakan lulus dan akan diberangkatkan ke Indonesia pada tahun berikutnya (1991). Mulai saat itu, saya menjadi lebih serius belajar karena ada tujuan yang lebih jelas.
Pada suatu hari, Klub Indonesia di kampus mengadakan acara barbeque dan mengundang seluruh mahasiswa Australia yang belajar tentang Indonesia, dan juga seluruh mahasiswa Indonesia yang ada di kampus untuk datang ke acara itu. Pada saat sedang makan, ada orang Indonesia yang datang menghampiri dan duduk di samping saya, kemudian mengajak ngobrol. Dia bertanya apakah saya belajar tentang Indonesia dan saya jawab ya. Kemudian, tiba-tiba saja dia bertanya tentang sesuatu yang tidak pernah saya duga; dia bertanya apakah saya juga belajar tentang agama Islam. Saya menjawab, tentu saja, kami harus mempelajari dasar-dasar semua agama di Asia termasuk agama Islam dalam salah satu mata kuliah kami.
Lalu dia benar-benar membuat saya terkejut dengan bertanya, “Apakah kamu sudah tahu bahwa di dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni dosa? Tidak ada pendeta atau pastor yang bisa mengampuni dosa manusia!” Saya tidak tahu harus berkata apa. Saya masih ingat duduk di bangku kayu dengan sepotong hotdog yang masih berada di dalam mulut. Saya begitu terkesima. Waktu seolah terhenti untuk sesaat. Kemudian saya menyadari bahwa inilah sebuah jawaban yang telah saya cari selama 10 tahun. Di dalam Islam, hanya Tuhan yang berhak mengampuni dosa. Saya mulai berfikir: Apakah mungkin ada suatu agama yang didasarkan pada logika? Adakah Islam mengandung ajaran-ajaran yang dapat dianalisa secara kritis tanpa menimbulkan kebingungan, dan dapat menjawab sejumlah pertanyaan saya selama ini? Apakah mungkin sebuah agama yang pernah saya tolak sebenarnya mengandung kebenaran yang mutlak? Apakah mungkin ada satu agama yang benar di dunia ini?
Sejak saat itu, saya mulai mempelajari dan menganalisa agama Islam secara mendalam. Saya mulai membaca buku dan mencari teman dari Indonesia yang beragama Islam. Secara perlahan, saya mulai memperluas pengetahuan saya tentang Islam dengan bertanya, berfikir, membaca, dan terus mencari jawaban. Saya mempelajari Islam lebih dalam untuk mencari tahu apakah agama ini benar-benar masuk akal atau tidak.
Pada tahun 1991, saya dan dua orang teman kuliah mengikuti program beasiswa untuk kuliah di Indonesia. Saya belajar di Universitas Atma Jaya, sebuah Iniversitas Katolik swasta di pusat kota Jakarta. Selama 6 bulan kuliah di Atma Jaya, sebagian besar teman saya adalah orang Islam. Saya melihat mereka melakukan shalat dan mulai bertanya lebih jauh mengenai agama Islam. Saya ingin tahu apa yang mereka lakukan, mengapa, dan apa yang mereka yakini sebagai orang Islam.
Setelah 6 bulan tinggal di Jakarta dan kembali ke Brisbane, ternyata saya menjadi salah satu mahasiswa yang bahasa Indonesianya paling lancar di kampus. Oleh karena itu, saya seringkali bergaul dengan orang-orang Islam dari Indonesia. Saya tidak aktif mempelajari Islam secara rutin, namun saat itu saya sudah mulai merasa tertarik. Kapanpun kami harus menulis essay, saya selalu mencari topik yang ada hubungannya dengan Islam. Biasanya ada satu topik pilihan tentang Islam dalam daftar yang diberikan. Untuk menulis essay tersebut, saya harus membaca belasan buku dan artikel tentang aspek-aspek Islam di Indonesia. Semakin sering saya baca, semakin mampu saya berpikir secara mendalam tentang Islam.
Meskipun saya dapat melihat banyak aspek positif dalam Islam, diam-diam saya juga mencari titik kelemahannya yang fatal. Saya yakin, cepat atau lambat saya akan menemukan sesuatu yang dapat meyakinkan saya bahwa Islam itu tidak benar. Saya ingin menemukan sesuatu yang membuktikan bahwa Islam adalah agama yang tidak masuk akal seperti apa yang saya pikirkan sebelum bertemu dengan orang Indonesia di acara barbeque. Saya merasa yakin bahwa pasti ada sesuatu yang salah dengan Islam dan saya ingin menemukannya.
Setelah menyelesaikan kuliah Bachelor of Arts (BA) pada tahun 1993, saya mengambil kuliah tambahan Graduate Diploma of Education (GDipEd) pada tahun 1994 di Fakultas Pendidikan untuk menjadi seorang guru bahasa dan sejarah. Pada saat yang sama, saya mengikuti seleksi untuk sebuah beasiswa baru dari Perkumpulan Pembantu Rektor Australia (Australian Vice-Chancellors Committee). Beasiswa ini hanya untuk satu orang dan penerimanya boleh memilih lokasi kuliah di mana saja di Indonesia.
Pada tahun 1995, saya kembali mendapatkan beasiswa untuk kuliah selama satu tahun di Indonesia dan kali ini saya memilih kuliah di Universitas Indonesia. Seperti saat kuliah di Atma Jaya, saya menghabiskan waktu bergaul dengan orang Islam dan memperhatikan apa yang mereka lakukan.
Malam hari pada bulan Februari tahun 1995, saya duduk seorang diri di lantai menonton shalat Tarawih yang ditayangkan TV langsung dari Mekkah. Saya mendengarkan komentator yang berbicara dalam bahasa Indonesia. Dia menyatakan bahwa pada tahun itu diperkirakan ada sekitar 3 juta orang di Masjidil-Haram dan wilayah sekitarnya (yang terdiri dari lapangan yang ada di luar masjid, jalan-jalan, dan bahkan lobi-lobi hotel). Semua orang itu sedang melakukan sholat bersama. Sekitar 3 juta orang melakukan gerakan yang sama, menghadap arah yang sama, mengikuti imam yang sama, berdoa dengan ucapan yang sama, dan berdoa kepada Tuhan yang sama pada saat yang sama. Saya berfikir: Mana ada hal seperti ini di negara Barat? Jumlah orang yang berkumpul untuk menyaksikan pertandingan bola yang paling hebat sekalipun di dunia ini paling-paling hanya sekitar seratus ribuan. Saya belum pernah melihat orang sebanyak itu berkumpul di satu lokasi untuk melakukan hal yang sama, pada waktu yang sama, dalam bahasa yang sama dan semuanya melakukan gerakan-gerakan secara bersamaan. Ini sungguh sebuah pandangan yang tidak ada tandingannya. Sampai sekarang, saya masih belum menemukan suatu kejadian yang serupa di dunia Barat.
Saya mulai berfikir tentang berapa banyak orang yang bisa berkumpul di satu bangunan untuk mendengarkan Paus bicara. Saya mulai bayangkan apakah mungkin semuanya bisa memahami kata-kata yang diucapkan Paus karena tidak ada bahasa yang mempersatukan orang Kristen dari manca negara. Mereka berdoa di dalam bahasanya masing-masing. Tidak ada suatu kejadian di dalam agama Kristen yang dapat menandingi apa yang saya saksikan dari Mekah.
Selama satu tahun itu saya terus mempelajari agama Islam, tidak secara formal, tetapi dengan memperhatikan apa yang saya lihat di sekitar. Kalau ada ceramah agama di TV, maka saya akan mendengarkan dan memikirkan apa yang disampaikan penceramahnya. Tidak ada yang dapat saya salahkan dari apa yang disampaikan dalam ceramah itu. Perlahan, saya mulai memahami Islam dengan lebih baik. Pada akhir tahun 1995, saya sudah merasa sulit dan lebih sulit lagi untuk menolak agama Islam. Saya terus mencari kelemahan dalam dasar ajaran Islam dari sudut pandang logika. Namun, saya tidak dapat menemukan titik kelemahan itu. Semua yang ada di dalam Islam begitu jelas dan tak pelak lagi memang didasarkan pada logika.
Akhirnya saya merasa bahwa saya tidak mempunyai pilihan. Saya tidak bisa terus menyangkal apa yang telah saya pelajari tentang Islam. Saya mengambil keputusan untuk segera masuk Islam. Akan tetapi, bagaimana dengan masa depan saya? Kuliah saya di Universitas Indonesia hampir usai. Saya harus kembali ke Australia dan mengajar di sekolah di sana. Bagaimana saya bisa mempelajari agama Islam jika tinggal di sana? Di mana saya bisa sholat? Ada berapa masjid di Brisbane? Dari mana saya bisa mendapatkan guru agama? Sepertinya saya akan sulit hidup sebagai orang Islam kalau harus tinggal di Brisbane. Semakin saya berfikir, semakin jelas kalau saya tidak memiliki pilihan kecuali terus tinggal di Indonesia. Dengan begitu, saya bisa berada diantara orang-orang Islam. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk masuk Islam dan menetap di Indonesia. Saya sudah membuat keputusan, dan selanjutnya tinggal mengurus detilnya.
Pada bulan Februari tahun 1996, saya mengucapkan syahadat dan menjadi seorang Muslim. Saya lupa kapan saat persisnya saya memberitahu orang tua bahwa saya sudah masuk Islam. Namun seingat saya, itu terjadi beberapa bulan kemudian dan saat itu saya telah sanggup melakukan sholat sendiri. Sudah pasti mereka menganggap saya telah “kehilangan akal” tetapi alhamdulillah, mereka tetap bersikap baik kepada saya dan tidak pernah menjelekkan agama Islam di depan saya. Saya tidak diusir, tidak dimusuhi dan tidak dikeluarkan dari keluarga saya. Ini sangat berbeda dengan cerita yang seringkali saya dengar di Indonesia tetang sebagian dari orang Kristen yang masuk Islam. Mereka dipukuli, diusir dari rumah dan dianggap telah keluar dari keluarganya. Keluarga saya pasti menganggap saya sudah menjadi “gila”. Tidak apa apa. Nabi Muhammad saw juga pernah dianggap “gila” oleh kaum Quraisy di Mekkah, jadi dalam konteks ini, disebut “gila” akan lebih seperti sebuah pujian.
Sejak tahun 1995, saya telah menetap di Jakarta dan bekerja sebagai seorang guru bahasa Inggris (setelah menyelesaikan kuliah di UI). Banyak orang Barat yang saya kenal di sini merasa heran mengapa saya mau menetap di negara yang miskin, kotor, penuh dengan korupsi, dan sebagainya. Orang Barat itu memiliki pandangan yang keliru; mereka tidak mengerti. Komentar negatif mereka tentang Indonesia memang benar adanya, tetapi saya juga melihat banyak masjid, orang yang rajin sholat, adzan, Al Qur'an di setiap rumah, makanan yang halal, dan juga anak muda yang tidak mau berzina, menolak aborsi, menolak alkohol dan mabuk-mabukan, menjauhi narkoba, menolak perjudian, dan banyak hal negatif lainnya yang dilarang oleh agama mereka. Oleh karena itu, semua kekurangan yang disebut-sebut oleh orang asing itu menjadi tidak bermakna dan kurang berasa. Semua kekurangan itu memang menjadi masalah dan karenanya harus diperbaiki. Namun begitu, sejumlah kecil masalah yang ada menjadi jauh tidak berarti jika dibandingkan dengan kehidupan religius yang dilakukan orang-orang Islam yang baik yang saya kenal di Jakarta. Keindahan dan kebenaran tentang Islam tidak bisa dirusak oleh tindakan buruk dari sebagian manusia yang tinggal di negara ini.
Alhamdullilah, di sini saya mendapatkan beberapa teman terbaik di dunia. Bagi saya, persahabatan dan perilaku mereka merupakan bukti nyata kebenaran Islam. Persahabatan dengan mereka adalah suatu hal yang sangat nikmat. Mereka ibarat keluarga bagi saya dan mereka juga memperhatikan saya seperti anggota keluarganya sendiri, hanya karena saya beragama Islam. Mereka selalu membantu saya untuk menjadi seorang Muslim yang baik dengan cara memberikan contoh yang baik. Alhamdulillah, di Jakarta saya juga mendapatkan beberapa guru yang sangat baik, yang insya Allah memiliki ilmu dan wawasan yang luas. Ilmu agama yang saya dapatkan dari mereka selalu menyambung dengan akal saya dan kenyataan itu merupakan bukti bagi saya bahwa Islam memang diciptakan sebagai rahmat bagi ummat manusia.
Guru utama saya sampai sekarang ini adalah Kyai Haji Masyhuri Sahid MA, yang telah membimbing dan memperhatikan saya seperti anak kandung. Selain menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia, Kyai Masyhuri juga menjadi Pemimpin Pondok Pesantren Yatim-Piatu Daarul Qur’an yang berlokasi di Tebet, Jakarta Selatan.
Di dalam buku ini, saya ingin memberikan komentar atas apa yang saya lihat dan pelajari mengenai agama Kristen dan Islam. Banyak orang yang saya kenal di sini mengatakan bahwa saya melihat agama dari sudut pandang yang berbeda dari mereka, karena mereka semuanya terlahir sebagai Muslim dan tidak pernah mengetahui kehidupan lain di luar Islam. Tidak seperti orang-orang ini, saya harus menganalisa agama Kristen dan Islam dan membuat sebuah pilihan. Saya harus mencari logika di dalam Islam sebelum dapat menerimanya. Mungkin setelah membaca pandangan saya di dalam buku ini, beberapa orang Islam akan melihat sisi lain dari Islam yang tidak mereka pikirkan sebelumnya, dan bila itu terjadi semoga mereka akan semakin kuat dalam keimanannya. Boleh jadi, beberapa orang Kristen juga akan lebih terbuka dan menyambut Islam setelah memahami bahwa Islam adalah lanjutan dari segala sesuatu yang diajarkan oleh Yesus as.
Saya tidak tahu jika pandangan dan analisa saya ini akan memberikan pengaruh besar bagi orang lain. Itu bukanlah tujuan saya. Saya hanya ingin menjelaskan apa yang saya pahami dan berharap hal itu dapat memberikan manfaat bagi orang Islam yang lain dalam proses mempelajari Islam. Al Quran dan Nabi Muhammad saw mengemukakan bahwa umat Islam adalah sebuah keluarga besar. Namun kita tidak bertindak seperti satu keluarga. Kita bertindak individual. Terlalu banyak orang Islam menganggap bahwa pengetahuan, kekayaan, dan kekuasaan yang mereka miliki adalah untuk kepentingan mereka saja, dan karena itu mereka tidak ingin membaginya dengan orang lain. Saya tidak memiliki banyak kekayaan atau kekuasaan, namun saya ingin membagi pengetahuan yang sudah saya dapatkan dan berharap itu akan memberikan manfaat bagi orang lain.
Saya telah tinggal di Indonesia selama lebih dari 10 tahun dan telah menyaksikan yang terbaik dan yang terburuk dari perbuatan orang Islam. Kadangkala saya merasa sedih saat melihat keadaan masyarakat di sini karena perilaku sejumlah umat Islam yang tidak islamiah.
Kalau kita menganggap diri kita sebagai “penjual” dan produk yang kita “jual” itu adalah Islam, maka saya akan sangat heran kalau orang lain ingin “membeli” apa yang kita “jual”. Dengan kata lain, kita seringkali gagal dalam tugas “marketing” Islam agar agama ini lebih mudah dapat diterima oleh orang-orang yang tidak memahaminya. Kalau seandainya orang Barat ingin berdebat dengan saya tentang kebenaran Islam, maka dia cukup menunjuk tingkat korupsi yang sangat tinggi di Indonesia dan menyatakan “Bukannya hal itu membuktikan bahwa agama anda tidak bagus?” Tentu saja yang dia komentari itu adalah perbuatan manusia, dan bukan ajaran Islam. Tetapi untuk meyakinkan dia tidaklah mudah.
Dengan demikian, saya melihat bahwa sebagai umat Islam kita memiliki sebuah tanggung jawab untuk menjelaskan Islam dengan cara terbaik sehingga dapat lebih mudah dipahami oleh orang yang ingin tahu tentang Islam. Cara termudah bagi kita untuk melakukan tugas itu adalah dengan menunjukkan Islam melalui perilaku kita. Jika kita dapat melakukan strategi ini, maka orang mungkin akan mulai memandang Islam dengan cara yang lebih baik karena mereka akan melihat kebenaran Islam yang dicerminkan melalui tindakan-tindakan kita. Setelah itu, kita perlu menjelaskan dengan gamblang mengapa kita meyakini Islam dan apa yang Islam ajarkan mengenai agama lain, khususnya agama Kristen sebagai agama monoteisme terdekat dengan Islam. Agar dapat melakukan tugas itu, seorang Muslim harus memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan agama Kristen sehingga sanggup berbincang dengan cara yang konsruktif. Jika kita berhasil dengan “marketing” agama kita ini, maka insya Allah jumlah musuh Islam akan berkurang dan jumlah penganut Islam akan bertambah.
Perjalanan saya dari Selandia Baru ke Australia kemudian ke Indonesia sudah tentu adalah bagian dari Rencana Allah. Saya belum tahu kenapa Allah membawa saya ke Indonesia dan memberikan saya kemudahan dalam berbahasa Indonesia. Saya tidak tahu apa yang seharusnya saya lakukan. Yang jelas, saya menyadari ilmu tentang agama Islam yang saya miliki masih sangat sedikit. Dengan begitu, apa yang saya tulis di dalam buku ini hanyalah usaha terbaik saya untuk menjelaskan bagaimana saya menganalisa agama Kristen dan Islam dan menyimpulkan bahwa Islam adalah agama yang harus diterima.
Saya mohon kepada Allah untuk melindungi dan membimbing saya, dan juga memberikan saya kemudahan untuk lebih memahami Islam disebabkan apa yang saya tulis. Semoga buku ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua dan menjadi rahmat Allah untuk seluruh ummat Islam. Amin amin ya robbal alamin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sumber : http://genenetto.blogspot.com/2006/04/saya.html

1 komentar:

Sujak Aryo mengatakan...

demi Allah manusia selalu dalam kesalahan,setiap hari saya selalu meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosa yang selalu ada setiap harinya dan meminta-Nya agar saya lebih baik dari hari kemarin dan yang akan datang lebih baik dari yang sekarang,islam adalah agama yang nyata,agama tekhir(setelah yahudi dan nasrani)

Albaqarah

[2:208]Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
[2:256] Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Ali-Imran

[3:20] Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
[3:85] Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Yahoo Search